- Profil Nisa An Nashr, Istri Dokter Tirta yang Ternyata Mantan Istri Vokalis The Sigit
- Pelaku Pakai Kacamata Pintar Meta Rencanakan Serangan di New Orleans
- Prabowo 10 Pemimpin Dunia Berpengaruh sampai Israel Batasi Bantuan
- Hanoi Vietnam Jadi Kota dengan Polusi Paling Parah di Dunia
- A Shop for Killers Dikabarkan Siap Syuting Musim Kedua Tahun Ini, Disney Plus Angkat Suara
- Adegan Favorit Chae Soo Bin - Yoo Yeon Seok di Drakor When the Phone Rings, Terasa Emosinya
- Rekomendasi 7 Drakor Anyar Tayang Januari 2025, Termasuk When the Stars Gossip
- Demi Timnas Indonesia, Konser Dewa 19 di GBK Mundur
- Jawab Menpora Dito soal Nasib Shin Tae-yong di Timnas
- Rusia Bersumpah Lakukan Pembalasan Usai Tembak Jatuh 8 Rudal Buatan AS
Apakah dia mengalami Depresi? Cek Bicaranya
Jakarta, Beberapa orang pandai menyembunyikan perasaan, dari luar tampak baik-baik saja meski hatinya menangis tercabik-cabik. Para ilmuwan baru-baru ini berhasil menentukan dengan tepat tingkat keparahan depresi berdasarkan cara berbicara.
Dalam penelitian yang diklaim sebagai yang terbesar di dunia tersebut, para ilmuwan menemukan bahwa cara berbicara susah dipalsukan ketika seseorang sedang depresi. Perubahan cara bicara itu bisa dipakai untuk mengukur tingkat keparahan depresi yang dialami.
Adam Vogel, kepala Speech Neuroscience Unit di University of Melbourne mengatakan bahwa cara berbicara adalah penanda kesehatan otak yang sangat kuat. Berbagai perubahan yang terjadi pada cara berbicara bisa menunjukkan seberapa bagus otak bekerja.
"Cara berbicara orang yang sedang depresi berubah dan dipengaruhi oleh terapi yang diberikan, menjadi lebih cepat dengan jeda yang lebih pendek," kata Vogel dalam laporannya di jurnal Biological Psychiatry seperti dikutip dari Medindia, Selasa (21/8/2012).
Dalam penelitian tersebut, Vogel melakukan pengamatan terhadap 105 pasien yang sedang menjalani terapi untuk menyembuhkan depresi. Beberapa hal yang diamati antara lain waktu, nada dan intonasi bicara yang kemudian dibandingkan dengan hasil pemeriksaan psikologis.
Para pasien diminta melakukan panggilan telepon ke sebuah mesin penjawab otomatis. Ada yang diminta berbicara apa saja, mengungkapkan perasaan dan sebagian hanya diminta untuk membaca teks supaya tidak perlu repot-reopot memikirkan mau bicara tentang apa.
"Temuan ini memungkinkan para psikolog jadi lebih fleksibel dalam memeriksa pasien dari jarak jauh, hanya dengan mendengarkan pola dan cara berbicara meski dari lokasi yang sangat jauh atau di kampung-kampung," kata James Mundt dari Centre for Psychological Consultation di Wisconsin.